Thursday 6 November 2014

PLN Kini dikenal Sebagai Perusahaan Lilin Negara



PLN Kini dikenal Sebagai Perusahaan Lilin Negara
(oleh: Yosef Noferianus Gea)

            Seiring dengan terpilihnya Bapak Jokowi-JK sebagai Presiden dan Wakil Presiden Indonesia, banyak yang beranggapan bahwa era baru telah dimulai, harapan baru pun kini membuat hampir semua kalangan optimis untuk kebaikan negeri ini. Dalam berbagai aspek diharapkan akan terjadi perubahan positif. Tidak terkecuali soal pemanfaatan energi, khususnya dalam konteks ini adalah energi listrik.
            Jika melihat dari pengelolaannya, Perusahaan Listrik Negara (PLN) memiliki fungsi yang sangat penting bagi masyarakat dalam mensuplai energi listrik yang berkecukupan. PLN memiliki mandat penuh sebagai satu-satunya organisasi yang berperan dalam mengelola energi listrik di Indonesia saat ini. Hal ini tidak menjadi masalah kala penyuplaian energi listrik dilakukan secara tepat dan merata di setiap daerah. Namun yang menjadi masalah adalah ketika fakta menunjukkan bahwa di Indonesia saat ini suplai energi listrik sangat terbatas.
            Banyak faktor yang menjadi penyebab dari kondisi yang tidak diinginkan ini, salah satunya adalah karena terbatasnya energi listrik yang dapat diproduksi oleh bumi saat ini. Sehingga sangat berpengaruh pada terbatasnya sumber energi listrik yang dapat dimanfaatkan oleh setiap negara. Hal ini tentu menjadi masalah yang tidak dapat dibiarkan begitu saja, harus dicarikan solusi yang tepat dalam waktu yang cepat. Sebab, di era yang modern ini, era dimana pada umumnya mengandalkan kemampuan teknologi, maka secara tidak langsung energi listrik telah menjadi salah satu faktor utama pendukung aktivitas manusia dalam menjalani kesehariannya.
            Fenomena yang tidak terbantahkan yang ditemukan di Indonesia saat ini adalah terbatasnya sumber energi listrik ini. Sehingga kuota yang diberikan di setiap daerah pun semakin berkurang, yang berdampak tidak terpenuhinya kebutuhan masyarakat akan energi listrik. Namun, dibalik fakta ini fenomena yang cukup unik adalah keterbatasan energi listrik ini tidak merata. Umumnya hanya dialami oleh daerah-daerah kecil, misalkan saja di salah satu pulau kecil di Sumatera sana, yakni Pulau Nias. Masyarakat daerah Nias bahkan memberi penamaan baru pada PLN, yakni Perusahaan Lilin Negara. Hal ini mungkin terdengar lucu atau hanya sekedar lelucon. Tapi sebenarnya tidak, ini adalah koreksi yang sangat tepat bagi pemerintah, dan khususnya bagi PLN (Perusahaan Listrik Negara) yang tidak mengelola energi listrik dengan cukup baik dan merata.
            Fenomena keterbatasan energi listrik ini dikatakan unik karena adanya perbedaan yang sangat mencolok di setiap daerahnya. Di Kota Besar atau Kota Metropolitan sekelas Bandung, suplai energi listrik ini hampir tidak menjadi masalah yang cukup berarti. Namun sebaliknya di daerah-daerah kecil seperti Pulau Nias tadi menjadi korban dari ketidakmerataan suplai energi listrik ini. Dan bukan hanya Pulau Nias, banyak daerah lainnya yang mengalami hal yang sama. Hampir setiap dan sepanjang hari listrik tidak dapat digunakan, dan hal ini terjadi berbulan-bulan bahkan telah bertahun-tahun. Namun, ironinya lagi adalah ketika malam hari di Kota Metropolitan seperti Bandung dan kota-kota besar lainnya, dimana-mana lampu menjadi ikon yang selalu terang-berderang, dan sebaliknya banyak daerah yang justru hanya memanfaatkan lilin atau lampu tradisional, berhubung karena listrik seringkali tidak dapat diakses. Maka tidak heran jika masyarakat seringkali melakukan demo untuk menuntut hak mereka mendapatkan energi listrik yang cukup.
Fenomena ini juga sangat erat hubungannya dengan pembangunan yang ingin dilakukan oleh daerah-daerah kecil, sudah pasti pembangunan akan terhambat dan sangat menjadi sangat sulit untuk melakukan aktifitas. Sebab, secara logika dengan kondisi yang kekurangan energi listrik ini tentu dapat menghambat kemajuan atau pembangunan daerah-daerah kecil tersebut tersebut. Sehingga secara tidak langsung berlaku hukum rimba, kota besar semakin berkuasa,  sementara kota atau daerah kecil semakin dibiarkan.
Namun, Indonesia saat ini memiliki harapan baru. Hal ini tentu menjadi fondasi yang kuat bagi masyarakat Indonesia dalam berbagai hal, termasuk pemerataan terhadap penyuplaian energi listrik ke seluruh nusantara. Harapan tersebut ada pada pemerintahan yang baru. Harapan sederhana untuk meningkatkan kepedulian bagi daerah-daerah kecil, dan tidak hanya memusatkan perhatian terhadap kota-kota besar atau metropolitan yang notanebe menjadi ikon-ikon negeri ini. Untuk apa kita membanggakan beberapa kota besar kita yang megah dihadapan dunia, namun disisi lain puluhan atau bahkan ratusan daerah lainnya terseok-seok mendapatkan apa yang seharusnya mereka butuhkan.
            Untuk itu, diakhir bagian dari tulisan ini sangat besar harapan pada pemerintahan baru sekarang untuk mulai membangun sistem manajemen pengelolaan yang lebih baik dan lebih mempertimbangkan kebutuhan di setiap daerah di Indonesia. Penulis bukanlah orang yang tepat untuk member solusi soal ini, namun penulis merasa perlu untuk mengingatkan pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Hal sederhana yang dapat ditawarkan adalah dengan mengatur ulang kuota yang harus di dapatkan oleh setiap daerah/kota. Jika memungkinkan, apabila kuota energi yang dimiliki suatu kota besar cukup tinggi, maka tidak ada salahnya dialihkan ke daerah lain yang lebih membutuhkan. Pemerintahan di kota besar juga seharusnya mengerti untuk tidak mempertahankan kondisi yang terang-berderang setiap malamnya, namun membantu daerah lain untuk dapat menikmatinya. Maksudnya adalah, jika selama ini kota besar memiliki fasilitas yang menggunakan energi listrik yang dianggap tidak begitu diperlukan, maka ada baiknya untuk mengurangi penggunaannya atau tidak menggunakannya dulu selama Indonesia masih mengalami keterbatasan pasokan energi listrik. Sehingga hal ini dapat membantu daerah kecil yang lebih membutuhkan. Soal teknisnya, penulis sangat percaya bahwa pemerintah memiliki orang-orang yang berkualitas, kredibel, dan ahli yang dapat membantu proses ini.

(Penulis adalah Mahasiswa Administrasi Publik-Universitas Katolik Parahyangan Bandung.)

Saturday 7 September 2013

Kesetaraan Gender Dalam Promosi Jabatan

Memasuki era yang semakin modern ini tentunya memberi harapan baru bagi Indonesia untuk menjajaki dunia global dengan lebih luas. Seiring dengan hal tersebut ada tuntutan tersendiri dalam menyiapkan sumber daya yang berkualitas, baik itu sumber daya alam (SDA), dan terlebih sumber daya manusia (SDM). Diperlukan kompetensi yang cukup dan memadai bagi setiap SDM untuk bisa berkontribusi dalam menjajaki era global ini. Apalagi dengan adanya wacana “menuju ASEAN 2015”, dimana Indonesia merupakan salah satu dari 10 negara yang turut bekerjasama di dalamnya tentu mengharapkan kesediaan SDM yang berkualitas dan siap untuk bersaing. Dalam hal ini terkait dengan kinerja dan kompetensi SDM Indonesia secara general. Namun pertanyaan besarnya adalah, apakah Indonesia telah siap dengan hal ini?

Sejalan dengan hal tersebut, perlu kita pahami lebih mendalam mengenai SDM yang telah siap untuk berkontribusi dalam era global tersebut. Dalam konteks ini akan dikaitkan dengan konsep “kesetaraan gender dalam promosi jabatan baik di sektor publik maupun di sektor swasta”. Secara teori, dapat dikatakan bahwa seseorang yang menerima promosi jabatan harus memiliki kualifikasi yang baik dibanding kandidat-kandidat yang lainnya. Namun di Indonesia, terkadang perbedaan gender antara pria-wanita serta senioritas tua muda mempengaruhi keputusan tersebut. Seperti yang kita ketahui bersama bahwa promosi jabatan pada hakekatnya merupakan kesempatan untuk berkembang dan maju yang dapat mendorong karyawan untuk lebih baik atau lebih bersemangat dalam melakukan suatu pekerjaan dalam lingkungan organisasi. Dengan adanya target promosi, pasti karyawan akan merasa dihargai, diperhatikan, dibutuhkan dan diakui kemampuan kerjanya oleh manajemen organisasi  sehingga mereka akan menghasilkan keluaran (output)/kinerja yang tinggi serta akan mempertinggi loyalitas (kesetiaan) pada organisasi tersebut.


Oleh karena itu, perlu disadari pentingnya promosi jabatan dalam peningkatan produktivitas yang harus dipertimbangkan secara objektif. Ironisnya di Indonesia kesetaraan gender dalam promosi jabatan masih sangat memprihatinkan, hal ini dikarenakan  kaum pria seringkali dikategorikan sebagai SDM kelas satu sementara kaum wanita dikategorikan sebagai kaum kelas dua. Namun jika ingin serius dalam menjajaki dunia global maka pola pemikiran yang demikian harus diperbaharui dengan langkah awal mewujudkan kesetaraan gender khususnya dalam promosi jabatan baik di sektor publik maupun di sektor swasta.

Monday 26 August 2013

Aku adalah aku, bukan bayangan orang lain!!

Berawal dari keterbukaan terhadap orang yang ku percaya, akhirnya aku bisa seperti saat ini. Aku bukanlah siapa-siapa, hanyalah sosok remaja yang ingin menjadi lebih baik. Ini terlihat semacam curhat, tapi inilah kisahku. .....

Masa Depan Politik Indonesia di Tangan Generasi Muda

Harus diakui bahwa perpolitikan di Indonesia saat ini masih sangat jorok, penuh skenario dan kepalsuan. Proses politik tidak lagi difokuskan pada perwujudan kesejahteraan rakyat, masih bergelantungan dengan berbagai kepentingan pihak yang terlibat secara dominan dalam politik. Hal ini dapat terlihat dengan semakin eksisnya kasus korupsi di kalangan politisi dan aparatur negara; semaraknya tikus berdasi yang berkeliaran dalam siklus birokrasi dan pemerintahan Indonesia. Seperti yang dilansir oleh news.detik.com/Senin, 27/05/2013Wamenkumham Denny Indrayana menyatakan bahwa sepanjang tahun 2004 hingga 2013, tercatat 291 kepala daerah baik Gubernur, Bupati serta Walikota terjerat korupsi, sedang untuk aparatur negara tercatat ada 1.221 orang. Sungguh ironis, namun itulah kenyataan pahit yang harus kita ketahui.

Sejalan dengan kehidupan politik Indonesia saat ini, seperti ungkapan Setia Permana dengan meminjam pendapat Larry Diamond yang mengatakan  bahwa kesulitan yang dialami oleh banyak negara demokrasi baru menunjukkan bahwa membentuk suatu negara demokrasi merupakan satu hal yang mudah, sedangkan yang seringkali lebih sulit adalah tugas mempertahankannya, mengonsolidasikannnya, serta memberikan vitalitas dan makna kepadanya. Persoalannya adalah ketika energi kekuasaan habis dipergunakan hanya untuk membangun dan memusatkan dominasi, bukan untuk melayani rakyat.” Pernyataan ini secara tegas mengingatkan kita bahwa energi para politisi dan petinggi negara ini terkuras untuk kepentingannya sendiri, tidak lagi memperdulikan amanat dari rakyat yang telah memberi kepercayaan.

Hal ini juga sekaligus menggambarkan kanibalisme politik yang masih sangat kental mencerminkan kehidupan birokrasi dan pemerintahan Indonesia. Belum tercipta kolaborasi yang baik antar partai politik, yang terlihat justru seolah sedang terjadi kompetisi ping-pong politik antar parpol.  Setiap parpol selalu siap siaga menanti kesalahan dari parpol lain guna memberi hentakan ‘smash’ bagi parpol yang dianggap lengah. Tidak cukup hanya dengan itu saja, jika smash yang diberikan telak mengenai lawan politik, maka sifat kanibal dari parpol akan keluar untuk memangsa jantung parpol yang terkapar dan mulai berlakunya hukum rimba, siapa yang kuat maka dia yang menang. Hal inilah yang tepat menggambarkan kehidupan politik Indonesia saat ini. Sejalan dengan hal ini, mengutip pendapat Robert A. Dahl yang memberi cerminan bahwa para pemimpin di negeri ini adalah  para pemimpin yang didorong oleh rasa gila kebesaran, kelainan jiwa, kepentingan pribadi, ideologi, nasionalisme, keyakinan agama, perasaan keunggulan batin, atau hanya mengandalkan emosi dan kata hati, dan oleh karena itu telah mengekspoitasi kemampuan negara yang luar biasa untuk mencapai tujuan-tujuan pribadi mereka.

Dari berbagai fenomena tragis yang terkait dengan kotornya politik di negeri ini, banyak wacana yang tercuat mengatakan bahwa Indonesia sedang menuju kegagalan,  atau bahkan tengah berada di gerbang kegagalan. Reformasi yang kita agung-agungkan tidak membawa perubahan berarti jika hal ini terus dibiarkan. Bahkan seringkali terdengar suara sumbang yang kerap menyatakan bahwa era reformasi tidak lebih baik dari era orde baru di masa rezim Soeharto. Hingga detik ini Indonesia masih digeluti kegalauan dan penuh kebingungan untuk melakukan perubahan. Hal ini dipertegas oleh Yeremias T. Keban yang mengatakan bahwa persoalan yang kita hadapi saat ini adalah dari mana memulai pembangunan? Dimulai dari elit birokrasi, elit legislatif, atau elit yudikatif? Mungkinkah para elit yang dianggap lemah dan bermasalah selama ini, mampu dan mau membangun dirinya? Bukankah ini merupakan suatu ‘paradox dalam pembangunan’ di tanah air kita yang selama ini diabaikan? Dilema ini telah lama mendorong timbulnya pesimisme dalam membangun birokrasi dan perpolitikan di Indonesia.

Namun sayangnya, generasi muda Indonesia justru tertidur pulas dikala mendengar jeritan negeri ini. Hal ini perlu dipertanyakan, apakah karena takut atau diselimuti motif penyelamatan diri (cari aman)? Politik bukanlah hanya tanggungjawab para pejabat yang memiliki kekuasaan. Mereka bukanlah Dewa dan selalu benar; dan rakyat, terutama generasi muda bukanlah kerbau. Soe Hoek Gie pernah mengatakan bahwa jika kaum intelenjensi hanya bisa diam disaat situasi lagi kacau, mereka telah melunturkan jati-diri sendiri. Lebih baik diasingkan daripada berjalan pada kemunafikan, inilah jargon yang tepat untuk membangun sensitivitas membaharui negeri ini. Sudah saatnya generasi muda ambil bagian. Generasi tua perlu saling membangun relasi yang baik dengan generasi muda sebagai penerus. Harus ada rasa kepercayaan terhadap yang muda untuk membenahi perpolitikan dan pembangunan birokrasi Indonesia. Tantangan akan semakin rumit, dan jika hal ini terus biarkan maka generasi muda harus siap menghadapi masa depan politik yang suram dan penuh kekacauan. Untuk itu, sebelum terlambat sebaiknya generasi muda tidak terus menunda untuk melakukan perbaikan negeri ini.

(Penulis adalah Mahasiswa Administrasi Publik-Universitas Katolik Parahyangan Bandung)